ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN

BAB I
PENDAHULUAN


Perkembangan filsafat ilmu itu terus berlanjut dalam  konteks postmodernisme, dimana konstruksi, struktur dan paradigma menjadi berkembang berkelanjutan; selalu terjadi rekonstruksi berkelanjutan, terjadi dekonstruksi, berkembang pemikiran post struktural dan post paradigmatik, dan logika study berkembang menjadi non standar logic.
Filsafat Ilmu sebagaimana dimaksud di atas adalah bertugas memberi landasan filosofis untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing-masing, agar dapat menampilkan substantif. Selanjutnya secara teknis diterapkan dengan dibentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disilpin ilmu masing-masing.
Filsafat Ilmu memiliki empat obyek telaahan. Dua obyek menelaah substansinya, dan dua obyek lainnya menelaah instrumentasinya. Dua yang pertama (telaah substansi) adalah Fakta atau kenyataan; dan kebenaran. Sedangkan dua yang terakhir (telaah instrumentasi) adalah Uji konfirmasi; dan Logika Inferensi.[1] Filsafat Ilmu sebagaimana dimaksudkan di atas memiliki cabang-cabang utama ataupun dasar-dasar utama filsafat ilmu yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno adalah Ontologi sebab persoalan paling awal dalam permulaan pemikiran Yunani adalah pemikiran di bidang Ontologi. Pemikiran paling tua dalam kaitannya dengan Ontologi adalah pemikiran Thales atas air yang adalah merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu[2].
Kata Ontologi berasal dari perkataan Yunani[3] : On = being, dan logos = logic. Jadi Ontologi adalah the theory of being qua being (theori tentang keberadaan sebagai keberadaan) atau sebagaimana disebutkan oleh Louis O. Kattsoff dalam Element of Filosophy menyatakan bahwa, Ontologi itu mencari ultimate reality sebagaimana yang dilakukan oleh Thales yang menyatakan bahwa, asal mula semua benda hanya satu saja yaitu air. Pendapat lain menyebutkan bahwa Ontologi berasal dari kata Ontos yang artinya adalah sesuatu yang berwujud dan logos adalah ilmu. Jadi Ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya berbicara tentang Ontologi adalah berbicara tentang hakikat ataupun kenyataan (realita) sesuatu yang ada, baik yang jasmani maupun yang rohani. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah pembicaraan tentang hakikat ataupun kenyataan (realita) sesuatu sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat adalah realitas; realitas adalah ke-real-an. Riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya tentang sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa obyek formal dari Ontologi adalah hakikat seluruh realita. Untuk melihat hakikat realitas, Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir menyatkan bahwa ada dua pendekatan yang dilakukan oleh para Filoshop, yaitu:
1.    Pendekatan Kuantitatif. Pendekatan Kuantitatif ini realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah. Dalam hal ini telaahnya akan menjadi sebagai berikut[4]:
a.       Monoisme, Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Paham ini kemudian terbagi kedalam dua aliran :
¥  Materialisme, aliran ini menganggap bahwa sumber yang asli itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
¥  Idealisme, idelisme diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.
b.    Paralelisme/Dualisme, paham paralelisme/dualisme menyatakan bahwa hakikat yang ada itu ada dua. Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani.
c.    Pluralisme, Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri atas 4 unsur, yaitu tanah, air, api dan udara.
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), lahir di  New York dan terkenal sebagai seorang pshikolog dan filosof Amerika. James mengatakan bahwa, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang sendiri-sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengaalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
2. Pendekatan Kualitatif. Pendekatan ini, realitas akan tampil tidak dalam bentuk jumlah, tetapi dalam bentuk kualitas. Pendekatan ini melahirkan aliran-aliran sebagai berikut :
a. Materialisme,
Aliran Materialisme, bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air karena pentingnya air bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara adalah merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang merupakan asal kejadian alam.
b. Idealisme
Aliran Idealisme atau disebut juga aliran spritualisme sebagai lawan dari aliran materialisme adalah satu aliran yang berpandangan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya, sedangkan materi hanyalah badannya, bayangan atau penjelamaan. Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya. Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
Pandangan ini dipelopori oleh Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Lainnya, ada Aristoteles (348-322 SM) yang memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu. Pada Filsafat Modern, pandangan ini dapat dilihat pada Geoge Berkeley (1685-1753 M) yang menyatakan obyek-obyek fisis adalah ide-ide. Kemudian Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-1831 M), dan Schelling (1775-1854 M).
c. Naturalisme
Paham ini menolak yang ada yang supernatural, menolak yang mental, dan menolak universal platonik. Sejak tahun 1960 sebagaimana disebutkan oleh Noeng Muhadjir, banyak karya ontologi yang dipengaruhi oleh filosof naturalist, Williard Van Orman Quine.
d. Hylomorphisme
Paham Hylomorphisme diketengahkan pertama kali oleh Aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya dipahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
e.    Nihilisme
Nihilisme berasal darti bahasa latin yaitu nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Doktrin tentang Nihilisme telah ada sejak zaman Yunani Kuno oleh Gorgias (483-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, Bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, sebab penginderaan itu tidak dapat dipercaya. Penginderaan adalah suatu illusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahu kepada orang lain. Tokoh sentralnya adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M) dengan teori monumentalnya dalam dunia Kristiani : Tuhan sudah mati?.
f.      Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Aliran ini dengan tegas menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent. Tokohnya antara lain adalah Soren Kierkegaar, Heidegger, Sarter, dan Jaspers.
B. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan. Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah[5]:
1)  Apakah pengetahuan itu ?
2)  Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu ?
3)  Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?
4)  Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai ?
5) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan puma pengalaman) ?
6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian?
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikurnpulkan sebelumnya Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.
Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Amsal Bakhtiar yang menyatakan bahwa Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itu dan bagaimana melakukan pembenaran terhadapnya. Teori yang menjelaskan kebenaran epistemologis adalah sebagai berikut[6]:
Ø  Pertama ialah teori korespodensi.
Paham yang mengatakan bahwa suatu pernyataan itu benar, jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya. Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh sustu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya.
Penganut paham korespondensi berpendapat bahwa semua pengetahuan dan pembenaran yang diyakini itu sepenuhnya berlandaskan pada pengetahuan dan pembenaran noninferensial. Maksudnya : Pembenaran hari ini turun hujan dimaksudkan hanya membenarkan turun hujan; tetapi tidak ada maksud meramalkan bahwa hari lain dengan kondisi yang sama akan juga turun hujan.
Ø  Kedua teori koherentisisme
Paham yang mengatakan suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi yang lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Penganut paham koherentisisme yang memandang bahwa yang diyakini itu tidak akan terlepas dari lingkaran dari semua yang diyakini. Yang diyakininya : tampilan kaya akan dihormati. Jajan di warung Tegal tak mau. Dikenal orang miskin tak mau, malu dikira miskin pula. Menurut teori ini sesuatu yang diyakini itu tidak terlepas dari keseluruhan sistem yang diyakininya, sehingga pembenaran terhadap sesuatu yang diyakini, dapat dilacak keterkaitannya dengan keseluruhan sistem yang diyakininya.



Ø  Paham-paham empiris
Definisi-definisi tentang kebenaran Paham-paham mendasarkan diri atas pelbagai segi pengalaman, dan biasanya menunjuk kepada pengalaman inderawi seseorang.
Ø  Pragmatisme
Semua penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu konsekuensi. Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (manfaat) dalam kehidupan manusia.
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut yang diperoleh manusia melalui akal, indera, dan lain sebagainya mempunyai metode tersendiri dalam teori pengatahuan. Ada sejumlah teori untuk mendapatkannya, antara lain [7]:
1. Metode Induktif
Metode Induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
2. Metode Deduktif
Metode Deduktif ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut . Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857 M). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja. Menurutnya perkembangan pemikiran manusia itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu : tahap teologis, tahap metafisis dan tahap positivistis.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasn indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga obyek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghozali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistemik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.



C. Aksiologi
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat Sejarah mencatat bahwa ilmu pengetahuan adalah merupakan satu alat yang sangat diperlukan oleh umat manusia dalam situasi dan kondisi apapun ia berada sebab dengan ilmu pengetahuan segala urusan akan dengan mudah dapat dilakukan dan tujuan yang hendak dicapai akan dapat tercapai dalam waktu yang relatif singkat.
Perkembangan ilmu pengatahuan yang dibarengi dengan berkembangnya tekhnologi telah membawa dua dampak yang saling berlawanan bagi umat manusia. Pada satu sisi memberikan dampak positif dan pada sisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ini telah membawa malapetaka bagi umat manusia. Oleh karena itulah maka ilmu pengetahuan yang pada dasarnya adalah bebas nilai, menjadi tanggungjawab bagi para ilmuan untuk mengisinya dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan, sehingga ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut dapat mengabdi untuk kemanusiaan dan perbaikan kesejahteraan ummat manusia, bukan justru untuk merusak dan membinasakan kemanusian dan alam sekitar. Beberapa definisi tentang Aksiologi, sebagai berikut[8] :
1.    Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi Aksiologi adalah teori tentang nilai.
2.    Sedangkan arti Aksiologi yang terdapat dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilimu Sebuah Pengantar Populer, bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3.    Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kedua, esthetic exepression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
4.    Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan, Aksiologi disamakan dengan Value dan Valuation. Ada tiga bentuk value and valuation :
? Nilai, digunakan sebagai benda abstrak.
? Nilai sebagai benda konkret.
? Nilai juga digunakan sebagai kata kerja ekspresi ternilai, memberi nilai, dan dinilai.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Sebuah keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuwan, sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern[9]:
(1) Nilai Teori: Manusia Modern Dalam Kaitannya Dengan Nilai Teori Dicirikan Oleh Cara Berpikir Rasional, Orientasinya Pada Ilmu Dan Teknologi, Serta Terbuka Terhadap Ide-Ide Dan Pengalaman Baru.
(2) Nilai Sosial : Dalam Kaitannya Dengan Nilai Sosial, Manusia Modem Dicirikan Oleh Sikap Individualistik, Menghargai Profesionalisasi, Menghargai Prestasi, Bersikap Positif Terhadap Keluarga Kecil, Dan Menghargai Hak-Hak Asasi Perempuan;
(3) Nilai Ekonomi : Dalam Kaitannya Dengan Nilai Ekonomi, Manusia Modem Dicirikan Oleh Tingkat Produktivitas Yang Tinggi, Efisien Menghargai Waktu, Terorganisasikan Dalam Kehidupannya, Dan Penuh Perhitungan;
(4) Nilai Pengambilan Keputusan: Manusia Modern Dalam Kaitannya Dengan Nilai Ini Dicirikan Oleh Sikap Demokratis Dalam Kehidupannya Bermasyarakat, Dan Keputusan Yang Diambil Berdasarkan Pada Pertimbangan Pribadi;
(5) Nilai Agama: Dalam Hubungannya Dengan Nilai Agama, Manusia Modem Dicirikan Oleh Sikapnya Yang Tidak Fatalistik, Analitis Sebagai Lawan Dari Legalitas, Penalaran Sebagai Lawan Dari Sikap Mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).



BAB III
KESIMPULAN


Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi adalah merupakan cabang-cabang dan dasar-dasar utama daripada Filsafat Ilmu, oleh karena itu maka setiap berbicara tentang Filsafat ilmu pastilah salah satunya membicarakan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
1.    Ontologi adalah berbicara tentang hakekat ataupun kenyataan (realita) sesuatu yang ada baik yang jasmani maupun yang rohani. Untuk dapat melihat hakekat realitas maka ada dua pendekatan utama, yaitu Pertama, Pendekatan Kuantitatif dan Kedua, Pendekatan Kualitatif. Ontologi adalah lapangan penyelidikan kefilsafat paling kuno dalam sejarah peradaban umat manusia.
2.    Epistemologi adalah membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. Adapun cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode induktif, deduktif, positivistik, Kontemplatif dan Dialektis.
3.    Aksiologi adalah berbicara tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi haruslah diberi nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Oleh karena itu sangat tepat apa yang disebut dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi.



DAFTAR PUSTAKA


Hasibuan , Ahmad Supardi, http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=449/ diakses pada tanggal 1November 2010

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, 2004, Jakarta: Raja Grafindo Pratama.

Kattsoff , Louis O., Pengantar Filsafat (alih bahasa Soejono Soemargono,) 1992, Yogyakarta: Tiara Wacana


http://fadlibae.wordpress.com/2010/10/04/ontologi-epistemologi-aksiologi-dalam-keilmuan/ diakses pada tanggal 1November 2010









[1] Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA,.http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=449
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo, 2004, hlm. 131
[3] Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA,.http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=449

[4] Amsal Bakhtiar,  hlm. 135

[5]  http://fadlibae.wordpress.com/2010/10/04/ontologi-epistemologi-aksiologi-dalam-keilmuan/1NOV2010
[6] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (alih bahasa Soejono Soemargono)1992,Yogyakarta: Tiara Wacana,hlm.185
[7] Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA,.http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=449

[8] Amsal Bakhtiar, hlm. 163.
[9]  http://fadlibae.wordpress.com/2010/10/04/ontologi-epistemologi-aksiologi-dalam-keilmuan/1NOV2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemikiran Mistisisme Rabi'ah Al-adawiyah

PASAR MODAL SYARIAH

@ kata2 cerdas