MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM

PENGARUH FILSAFAT ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
(QURROTUL UYUN, EKOS PPS IAIN CIREBON)
BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa secara umum studi Islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan dinamis serta eternal, untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan dunia modern, agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dengan tujuan tersebut, maka studi Islam akan menggunakan cara pendekatan yang sekiranya relevan, yang lebih bersifat multidisiplin, yaitu pendekatan kesejarahan, kefilsafatan, dan pendekatan ilmiah. Namun demikian, sebagai yang telah dikemukakan bahwa studi Islam ini adalah memadukan antara dua studi Islam yang bersifat konvensional dengan studi Islam yang yang bersifat ilmiah, sehingga pendekatan doktriner tidaklah dapat diabaikan.[1]
Melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah, tetapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti, yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengkuan formalistik.[2] Pendekatan kefilsafatan yang dimaksudkan adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan metode analisis filsafat. Pada dasarnya filsafat adalah berpikir untuk memecahkan masalah, atau mempertanyakan atau menjawab suatu persoalan. Namun demikian, tidak semua berpikir untuk memecahkan dan menjawab permasalahan disebut filsafat. Filsafat adalah berpikir secara sistematis, radikal, dan universal.
Disamping itu filsafat mempunyai bidang (obyek yang dipikirkan) sendiri, yaitu bidang atau permasalahan yang bersifat filosofis, yakni bidang yang terletak di antara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan filsafat bisa menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Dalam cara kerjanya, filsafat memerlukan bantuan, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan. Namun filsafat tidak mau menerima segala bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan. Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang datang secara otoritatif itu, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya, yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan. Dan dengan pendekatan kefilsafatan yang demikian, akan bisa menjembatani kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern, sebagaimana yang sering kita pahami dan menggejala dikalangan umat Islam selama ini.



BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Filsafat
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab (فلسفة), yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia (Φιλοσοφία). Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harfiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.[3]
Dalam bahasa arab dikenal kata hikmah dan hakim, kata ini bisa diterjemahkan dengan arti filsafat dan filosof. Kata hukkam al-islam bisa berarti falasifat al-islam. Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode-metode berfikirnya[4]. Di dalam surat al-Baqarah ayat 269 dinyatakan :
 Allah menganugerahkan al-hikmah  kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.

Ditinjau dari segi terminologis, filsafat itu mempunyai pengertian yang bermacam-macam tetapi memiliki intisari yang relatif sama. Menurut Harun Nasution bahwa definisi filsafat itu memang bermacam-macam, antara lain[5]: Pengetahuan hikmah, Pengetahuan tentang prinsip atau dasar-dasar, Mencari kebenaran, Membahas dasar-dasar dari apa yang dibahas, dan lain-lain.
Namun demikian dapat dikatakan bahwa intisari filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan sebagainya) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan[6].
Dari berbagai pendapat tersebut dapat dipahami bahwa istilah filsafat mengandung pengertian :
§  Sebagai aktivitas pikir murni, atau kegiatan akal manusia dalam usaha untuk mengerti secara mendalam segala sesuatu (kesemestaan). Pengertian filsafat disini ialah berfilsafat.
§  Sebagai produk kegiatan berfikir murni tersebut. Jadi filsafat merupakan suatu wujud ”ilmu” sebagai hasil pemikiran dan penyelidikan berfilsafat itu.
§  Sebagai suatu ilmu, filsafat merupakan “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab persoalan-persoalan yang belum/tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena persoalan-persoalan tersebut ada di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa[7].
B.       Ajaran Islam Mendorong Berfilsafat
Agama Islam memberi penghargaan yang tinggi terhadap akal, tidak sedikit ayat-ayat al-qur’an yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berfikir dan menggunakan akalnya. Di dalam al-qur’an dijumpai perkataan yang berakar dari kata ‘aql (akal) sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja aktif, seperti, seperti ‘aqaluh; ta’qilun; na’qli; ya’qiluha;dan ya’qilun[8]. Selain itu di dalam al-qur’an juga terdapat sebutan-sebutan yang member sifat berfikir bagi seorang muslim, yaitu :
a.    Ulul albab (orang yang berpikiran), seperi dalam QS. Yusuf  ayat 111
b.    ‘Ulu al ‘ilm (orang yang berilmu), seperi dalam QS. Ali imran ayat 18,
c.    ‘Ulu al-abshar (orang yang mempunyai pandangan), seperi dalam QS. An-nur ayat 44
d.   ‘Ulu al-nuha (orang yang bijaksana), seperi dalam QS. Thaha ayat 128[9]
Semua bentuk ayat-ayat tersebut mengandung anjuran, dorongan bahkan perintah agar menusia banyak berfikir dan menggunakan akalnya. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam menganjurkan, mendorong dan bahkan memerintah kepada pemeluknya supaya berfilsafat[10].
C.      Masuknya Filsafat Yunani Ke Dunia Islam
Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada (agama) lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini[11].
Sekitar abad VI SM di Yunani kuno telah lahir beberapa tokoh pemikir masyhur, seperti Thales (640 SM), filosof pertama yang lahir di Miletus. Kemudian disusul dengan Anaximender, Anaximenes, dan Heraclitos yang hidup sekitar tahun 500 SM[12]. Perkembangan pemikiran Yunani telah mencapai puncaknya pada sekitar tahun 500-300 SM, yakni sejak munculnya Socrates yang lahir di Athena pada tahun 470 SM. Diteruskan oleh Plato, yang hidup pada tahun 427-347 SM, salah seorang murid dari Socrates adalah sekaligus murid dari Aristoteles[13].
Sebenarnya masuknya filsafat Yunani ke dalam dunia Islam terjadi secara tidak sengaja, dalam arti bahwa umat Islam tidak sengaja mencari filsafat yunani untuk dipelajari dan kegiatan terjemahan. Secara umum, penerjemahan filsafat Yunani kedalam Islam terbagi dalam dua tahapan utama yaitu: pertama, penerjemahan secara tidak langsung, dalam arti filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa arab melalui tangan kedua, yaitu dibawah pengaruh Plotinus, Suriah, dan dari tangan-tangan para filosof di Yundi Shapur. Tahap kedua, setelah para ahli atau pemikir islam mengenal filsafat  Yunani lewat penerjemahan tersebut[14].
D.      Filsafat Islam
Menyimak dari istilahnya, Filsafat Islam terdiri dari gabungan dua kata yaitu kata Filsafat dan Islam. Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara lughawi filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Selanjutnya kata Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang bermakna patuh, tunduk, berserah diri, serta memohon selamat dan sentosa. Kata tersebut berasal dari salima yang berarti selamat, sentosa, aman dan damai. Kemudian Islam menjadi suatu istilah atau nama diri (proper name) dari agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada umat manusia melalui ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw[15].
1). Filsafat Islam: Sebuah Perdebatan Istilah
Sebutan Filsafat Islam, bukanlah sebutan yang telah disepakati oleh para pengkaji filsafat Islam. Beberapa pernyataan itu berkisar pada:
?  Ada yang mengatakan bahwa filsafat dan Islam adalah dua entitas yang berbeda dan bahkan sulit untuk disatukan, sehingga nama filsafat Islam tidaklah cocok (oximoron). Mereka menawarkan istilah “Filsafat Muslim”, karena para pendukungnya adalah para filosof muslim.
?  Ada lagi yang lebih sreg menggunakan istilah “Filsafat Arab”, karena merujuk pada karya-karya filosof muslim yang ditulis dalam bahasa Arab[16].
Namun, banyak juga yang mendukung lahirnya Filsafat Islam[17].
2).  Definisi Filsafat/Falsafah Menurut Para Filosof Muslim
o  Abu Ya'qub Al-Kindi, dalam kitabnya Fi Al-Falsafah Al-Ula, mendefinisikan falsafah adalah: "Pengetahuan tentang realitas atau hakikat segala sesuatu sebatas yang memungkinkan bagi manusia, karena sesungguhnya tujuan filosof secara teoritis adalah untuk mencapai kebenaran dan secara praktis adalah bertingkah laku sesuai dengan kebenaran"
o  Ibn Sina, dalam kitab 'Uyun al-Hikmah mendefinisikan Al-Hikmah (yang baginya sama dengan filsafat) adalah: "Usaha untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur) atas segala hal dan pembenaran (tashdiq) realitas-realitas teoritis dan praktis berdasarkan ukuran kemampuan manusia"
o  Ikhwan Al-Shafa, sekelompok pemikir Muslim Syi'ah Isma'iliyyah yang memiliki tendensi ke arah tasawuf atau sufisme, mereka menyatakan bahwa: "Permulaan falsafah adalah cinta pada ilmu, pertengahannya adalah pengetahuan tentang realitas wujud sesuai ukuran kemampuan manusia, dan pamungkasnya adalah kata dan perbuatan yang sesuai dengan pengetahuan itu"
3). Definisi Filsafat Islam Menurut Pemerhati Filsafat Islam, Terdapat sejumlah definisi yang diberikan oleh para pakar, yaitu:
§  Musa Asy'ari, mengatakan bahwa filsafat Islam itu pada dasarnya merupakan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Oleh karena itu perlu dirumuskan prinsip-prinsip dasar filsafat Islam agar dunia pemikiran Islam terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman[18].
§  Amin Abdullah, berpendapat bahwa Filsafat Islam merupakan hasil proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayaan Islam dan kebudayaan Yunani lewat karya-karya filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd. Filsafat profetik (kenabian), sebagai contoh, tidak dapat kita peroleh dari karya-karya Yunani. Filsafat profetik adalah trade mark filsafat Islam. Juga karya-karya Ibn Bajjah, Ibn Tufail adalah spesifik dan orisinal karya filosof Muslim. Memang Al-quran membawa cara yang sama sekali baru untuk melihat Tuhan dan Alam, dan juga membahas hukum-hukum yang tidak dapat diredusir dalam filsafat Yunani.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, filsafat Islam dapat diketahui melalui lima cirinya sebagai berikut.
F Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya, filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan Alquran dan Hadis[19].
F Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya, filsafat Islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang selanjutnya disebut bidang kosmologi; masalah ketuhanan dan hal-hal lain yang bersifat non materi, yang diselanjutnya disebut bidang metafisika; masalah kehidupan di dunia, kehidupan di akhirat; masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya; kecuali masalah zat Tuhan.
F Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat Islam sejalan dengan perkembangan ajaran Islam itu sendiri, tepatnya ketiga bagian dari ajaran Islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis.
F Keempat, dilihat dari segi yang mengembangkannya, filsafat Islam dalam arti materi pemikiran filsafatnya, bukan kajian sejarahnya, disajikan oleh orang-orang yang beragama Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan lain sebagainya.
F Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat Islam sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fikih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan Islam dan pendidikan Islam.
E.       Mengenal Tokoh-Tokoh Filosof Islam
Pengetahuan dibangun atas dasar pengenalan indrawi dan dengan adanya kekuatan rasio. Akan tetapi, kebenaran indrawi dan rasio belum menyentuh kebenaran esensinya (mahiyyah) yang tetap, karena sifat-sifat yang indrawi berubah-ubah dan kondisinya pun berbeda-beda, sedangkan fungsi esensi sesuatu ialah memgang  ciri-ciri substansinya yang pokok ketika terjadi perubahan keadan. Lalu, kebenaran lahirlah yang indrawi dengan rohaniah yang esensi ditalitemalikan atau dihubung-hubungkan dengan berbagia pendekatan[20].
Pencarian dilakukan oleh para filosof, tidak terkecuali filosof muslim, hingga akhirnya lahirlah filsafat islam yang dikembangkan oleh orang-orang muslim yang pada zamannya sangat gandrung kepada filsafat. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Al-Kindi (185-252 H/806-873 M)
Nama lengkapnya Abu Yusuf, Ya’kub bin Ishak Al-Sabbah bin Imran bin Al-Asha’ath bin Kays Al-Kindi. Beliau biasa disebut Ya’kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. Keturunan dari suku Kays, dengan gelar Abu Yusuf  (bapak dari anak yang bernama Yusuf) nama orang tuanya Ishaq Ashshabbah, dan ayahnya menjabat gubernur di Kufah, pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas. Nama Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.[21]
Sebagai orang yang dilahirkan di kalangan para intelektual, maka pendidikan yang pertama-tama diterima adalah membaca Al-Qur’an, menulis, dan berhitung. Disamping itu ia banyak mempelajari tentang sastra dan agama, juga menerjemahkan beberapa buku Yunani di dalam bahasa Syiria kuno, dan bahasa Arab. Al-Kindi mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu Al-Nadim buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, arithmatika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya[22]. Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan agama[23]. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Menurut al-Kindi, agama dan filsafat tidak mungkin bertentangan. Agama di samping sebagai wahyu juga menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal[24]. Jika terjadi pertentangan antara nalar logika dengan dalil-dalil agama dalam al-Qur`an, mestinya ditempuh dengan jalan ta`wīl (interpretasi, kontekstualisasi, atau rasionalisasi atas teks-teks keagamaan). Hal ini karena dalam bahasa (termasuk bahasa Arab), terdapat dua makna: makna hakīkī (hakikat, esensi) dan makna majāzī (figuratif, metafora). Namun demikian, menurut al-Kindi, memang terdapat perbedaan dari segi sumber data (informasi) antara agama dan filsafat. Agama diperoleh melalui wahyu tanpa proses belajar. Sedang filsafat diperoleh melalui proses belajar (berpikir dan berkontemplasi). Sedang dari segi pendekatan dan metode, agama dilakukan dengan pendekatan keimanan, sedang filsafat dilakukan dengan pendekatan logika.
Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunia Islam, Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui filsafat-lah, manusia bisa belajar mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Baginya, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Mengenai hakikat Tuhan, Al-Kindi menegaskan bahwa Tuhan adalah wujud yang hak (benar), yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, ia selalu ada dan akan selalu ada. Jadi Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain, tidak berakhir wujudNya dan tidak wujud kecuali denganNya.[25] Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan)[26]. Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya.
2.    Al-Farabi (257-337 H/870-950 M)
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی ) singkat Al-Farabi adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Ia juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir.[27]
Ayahnya adalah seorang Iran dan kawin dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkistan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius[28]. Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).[29] Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al- Farabi dapat ditinjau menjdi 6 bagian[30].
Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik. Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat. Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles. Di antara karangan-karangannya ialah[31]:
Ø   Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah.
Ø   Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua        Filosof; maksudnya Plato dan Aristoteles).
Ø  Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).
Ø  ‘Uyun al-Masail (Pokok-Pokok  persoalan).
Ø   Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadhilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
Ø   Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu)[32].
Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang bukan filsafat stoa, atau Peripatetik atau Neo Platonisme. Memang bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun bahannya yang pokok adalah dari Islam sendiri[33].
Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato dan plotinus, juga antara agama dan filsafat. Usaha Al-Farabi diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tapi ia berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya .
Menurutnya, tujuan filsafat itu memikirkan kebenaran, karena kebenaran itu hanya ada satu, tidak ada yang lain . Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran . Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran Plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batin) . Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim Al-Tsani.
Al-Farabi adalah orang pertama yang memberikan uraian sistematik terhadap hirearki wujud dalam kerangka hirearki intelegensi dan jiwa serta pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan. Al-Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya. Pertama, wujud keberadaannya sama sekali tidak memiliki sebab. Al-Farabi menyebut wujud ini sebagai wujud pertama atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi eksistensi setiap wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan tentang hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebab Aristetolian: material, formal, efisien, dan final[34]. Ketiga, wujud yang sepenuhnya immaterial - yang lain daripada wujud benda di dalam atau menempati benda-benda[35].
Al-farabi adalah  filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama)[36]
3.    Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Kata-kata al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dengan dua z). dengan menduakalikan z, kata-kata al-Ghazzali diambil dari kata-kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah memintal benang wol, sedang al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata-kata Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir ini yang banyak dipakai.[37]
Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun 478 H/1085 M. kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan dari padanya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu  enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain  mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, Isma’iliyyah, golongan filsafat dan lain-lain.
Pengaruh al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali. Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia.
Karyanya yang terbesar yaitu Ihya ‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hijjaz dan Tus, dan yang berisi tentang paduan yang indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan autobiografi.
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran akidah pada masanya. Namun demikian, al-Ghazali telah mencapai hakikat agama yang belum pernah diketemukan oleh orang-orang  yang sebelumnya dan mengembalikan kepada agama nulai-nilai yang telah hilang tidak menentu. Jalan yang terdekat kepada Tuhan ialah jalan hati dan dengan demikian ia telah membuka pintu Islam seluas-luasnya untuk tasawuf.
Pengaruh al-Ghazali besar sekali di kalangan kaum  Muslimin sendiri sampai sekarang ini, sebagaimana juga di kalangan tokoh-tokoh pikir abad pertengahan bahkan juga sampai pada tokoh-tokoh pikir abad modern.
Al Ghazali memberikan reaksi keras terhadap neo platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Menurut al Ghazali, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemuajan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Menurut Al Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi tambahan atau pertalian dengan zat, zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
4. Ibnu Miskawaih
Nama lengkap beliau adalah Abu ‘ali al-Khazin ahmad bin ya’qub bin miskawaih, dipanggil ibnu Miskawaih atau ibnu Maskawaih. Dia dilahirkan di Ray (Teheran), mengenai tahunnya masih banyak kontroversi atasnya ada yang menyangka 330 H dan ada juga yang mengatakan 325 H. Dia dilahirkan dalam masa bani Abbasiyyah. Ibnu Maskawaih seorang keturunan Persia, yang konon dulunya keluarganya dan dia beragama Majuzi dan pindah ke dalam Islam dan menjadi pemikir Islam sangat berpengaruh dizamannnya. Ibnu Maskawaih berbeda dengan al-Kindi dan al-Farabi yang lebih menekankan pada aspek metafisik, ibnu Maskawaih lebih pada tataran filsafat etika seperti al-Ghazali.
Ibnu Maskawaih merupakan filsuf yang bergelar guru ketiga setelah al-Farabi yang digelari guru kedua. Sebagai bapak etika islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika didalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlaq). Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Maskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari Khuluq, yang oleh beliau Khuluq dimaknai peri keadaan jiwa yang mengajaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik. Menurutnya ada kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga disana dibutuhkan aturan-aturan syariat, nasehat-nasehat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun[38].
Ibnu Maskawaih membedakan antara al-Khair (kebaikan), dan as-sa’adah (kebahagiaan). Beliau mengambil alih konsep kebaikan mutlak dari Aristoteles, yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati. Menurutnya kebahagiaan tertinggi adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek; aspek teoritis yang bersumber pada selalu berfikir pada hakekat wujud dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang melahirkan perbuatan baik. Dalam menempuh perjalananannya meraih kebahagiaan tertinggi tersebut manusia hendaklah selalu berpegangan pada nilai-nilai syariat, sebagai petunjuk jalan mereka.
Mengenai filsafat etika nya ibnu Maskawaih memiliki berbagai pernyataan: menurutnya setiap manusia memiliki potensi asal yang baik dan tidak akan berubah menjadi jahat, begitu pula manusia yang memiliki potensi asal jahat sama sekali tidak akan cenderung kepada kebajikan, adapun mereka yang yang bukan berasal dari keduanya maka golongan ini dapat beralih pada kebajikan atau kejahatan, tergantung dengan pola pendidikan,pengajaran dan pergaulan[39].


5.    Ibnu Sina
Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khilafah Abbasiyah, dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H. Di antara daerah-daerah yang berdiri sendiri ialah Daulah Samani di Bukhara, dan di antara khalifahnya ialah Nuh bin Mansur. Pada masanya, yaitu di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Belum lagi usianya melebihi enam-belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, taoi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit. Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik, sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangan.
Karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal ialah:
? Asy-Syifa. Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan trediri dari enpat bagian, yaitu: logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan).
? An-Najat. Buku ini merupakan keringkasan buku as-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
? Al-Isyarat wat-Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis.
? Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika.
? Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuhbelas Masehi.
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan atau pun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scott. Bahkan juga ada pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan wujudnya.
Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang; penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak bisa diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.
6.    Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan kakeknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi berbagai ilmu, seperti: fiqih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan, atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah.
Buku-bukunya yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu:
§  Bidayatul Mujtahid, ilmu fiqih. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqih dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
§  Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
§  Manahijul Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah  diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, juga oleh Muler, pada tahun 1895 M.
§  Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela filsafat dari serangan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh van den Berg yang terbit pada tahun 1952 M.
Ibnu Rusyd adalah tokoh pikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya, paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi filosof-pikiran dikalangan kaum Muslimin. Pada garis besar filsafatnya, ia mengikuti Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang sebenarnya dari celah-celah kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam lapangan ketuhanan, di mana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak jelas kepada kita[40].
7.    Ibnu Bajah
Ia adalah Abubakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah. Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu Bajah dengan “Avempace”, sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibnu Sina, Ibnu Gaberol, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, masing-masing dengan nama Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan Averroes.
Ibnu Bajah dilahirkan di Saragosta pada abad ke-11 Masehi. Tahun kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil dan masa mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah bahwa ia hidup di Serville, Granada, dan Fas; menulis beberapa risalah tentang logika di kota Serville pada tahun 1118 M, dan meninggal dunia di Fas pada tahun 1138 M ketika usianya belum lagi  tua. Menurut satu riwayat, ia meninggal dunia karena diracuni oleh seorang dokter yang iri terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya. Buku-buku yang ditinggalkannya ialah:
F Beberapa risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
F Risalah tentang jiwa.
F Risalah al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dan akal-faal.
F  Risalah al-Wada’, berisi uraian tentang penggerak-pertama bagi manusia dan tujuan yang sebenarnya bagi wujud manusia dan alam.
F Beberapa risalah tentang ilmu falak dan ketabiban.
F  Risalah Tadbir al-Mutawahhid.
F Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, al-Farabi, Porphyrus, dan sebagainya.
Menurut Carra de Vaux, di perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajah[41]. Ibnu Bajah telah memberi corak baru terhadap filsafat Islam di negeri Islam barat dalam teori ma’rifat (epistemology, pengetahuan), yang berbeda sama sekali dengan corak yang telah diberikan oleh al-Ghazali di dunia timur Islam, setelah ia dapat menguasai dunia pikir sepeninggal filosof-filosof Islam.





BAB III
KESIMPULAN


Dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.
Nama Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal ini; Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia.
Abubakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah.




DAFTAR PUSTAKA





________,Biografi Al Kindi,http://www.gudangmateri.com/2009/06/biografi-al-kindi.html/ diakses pada tanggal 10 November 2010

Al-Farabi, http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi/ diakses pada tanggal 10 November 2010.

Anwar, Rosihon dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009.

Andipostra , Al-Farabi, http://id.shvoong.com/humanities/1919708-al-farabi/ diakses pada tanggal 10 November 2010

A.Hakam Saifullah Baihaqi,Al-Ghazali, Ilmuwan dan Filosof Besar Islam,http://sutrisno.wordpress.com/2006/12/07/al-ghazali-ilmuwan-dan-filosof-besar-islam-2/ diakses pada tanggal 10 November 2010

Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahamad Saebani,  Filsafat Umum, Bandung : CV. Pustaka Setia,2008.

Muhaemin, dan Jusuf Mudzakir,  Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta : Kencana, 2007.

Ruswandi, Al-Kindi Filosof Islam Pertama, http :/ / mentoringku .wordpress .com /2008 /09 /24/al-kindi-filosof-islam-pertama/diakses pada tanggal 10 November 2010

Widiyarto, Eko. ibnu Miskawaih sang filsuf etika muslim, http: //suficinta .wordpress.com /2008/10/31/ibnu-miskawaih-sang-filsuf-etika-muslim/ diakses pada tanggal 10 November 2010







[1] http://www.abdain.com/pendekatan-dan-metode-studi-islam.html
[2] Rosihon  Anwar, Pengantar Studi Islam,CV. Ustaka Setia: Bandung, 2009, hlm.89.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
[4] Muhaimin,dkk. Kawasan Dan Wawasan Studi Islam,  (Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 303
[5] Muhaimin,dkk. hlm. 304
[6] Menurut endang saifuddin anshari bhwa filsafat itu adalah hasil usaha menusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahami (menyelami dan mendalami) secara radikal, integral dan universal hakikat sarwa yang ada (hakikat tuhan, hakikat manusia), serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi dari paham (pemahaman)-nya tersebut..
[7] Adapun bagian-bagian atau cabang-cabang dari filsafat itu sendiri meliputi : pertama, matafisika, yakni filsafat tentang hakikat yang ada dibalik fisika, tentang hakikat yang adanyang bersifat transenden, di luar atau di atas pengalaman manusia. Kedua, logika, yakni filsafat tentang pikiran yang benar dan salah. Ketiga, etika, yakni filsafat tentang tingkah laku yang baik dn buruk. Keempat, estetika, yakni filsafat tentang karya (kreasi) yang indah dan yang jelek. Kelima, epistemology, yakni filsafat tentang pengetahuan. Dan keenam adalah filsafat-filsafat khusus, seperti filsafat alam, filsafat agama dan lain-lain.
[8] Kata-kata yang dipakai dalam al-qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir bukan hanya ‘aqala, tetapi juga kata-kata : Nazhara (melihat secara abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan), misalnya dalam QS. At-thariq ayat 5-7 dan sebagainya; Tadabbara (merenungkan), misalnya dalam QS. Shad ayat 29 dan lain-lain, Tafakkarra (berfikir), seperti dalam QS. Al-anfal ayat 68-69 dan lain-lain, Faqiha (mengeti, faham), seperti dalam QS.  Al-isra ayat 44, Tadzakkara (mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memerhatikan dan mempelajari), seperti dalam QS. An-nahl ayat 17, az-zumar ayat 9 dan lain-lain, Fahima (memahami), seperi dalam QS. Al-anbiya ayat 78-79 dan lain-lain.
[9] Cara manusia mencari dan menemukan kebenaran itu ada tiga macam, yaitu dengan agama, filsafat dan dengan ilmu pengetahuan. Antara satu dengan lainnya mempunyai titik persamaan antara ketiga-tiganya adalah bahwa baik agama, filsafat maupun ilmu setidak-tidaknya bertujuan atau berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran, agama dengan wataknya sendiri, memberikan jawaban , titik perbedaan dan titik singgung.
[10] Manusia adalah makhluk berfikir, berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, dan mencari jawaban adalah mencari kebenaran, mencari jawaban tentang sesuatu berarti mencari kebenaran tentang sesuatu itu. Mencari jawaban tentang hidup misalnya adalah mencari kebenaran tentang hidup. Dengan demkiian pada akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran[10].
[11] Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
[12] Muhaimin,dkk. Op.Cit.hlm. 311
[13] Aristoteles lahir di Stagira Macedon tahun 384 SM, meninggal tahun 322 SM, pada usia 17 tahun ia pergi belajar ke Athena menjadi murid dari Plato di Academia Athena, ketika ia berusia 40 tahun, Plato meninggal dunia, dan ia mendirikan lembaga pendidkan yang baru di lycium. 
[14] Para penerjemah tersebut telah banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dengan tiga pemikir utama yang banyak memengaruhi para pemikir islam yaitu Plato, Aristoteles dan Neo-Platonisme
[15]Dalam pengertian ini, Islam pada hakikinya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, namun mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia dengan merujuk pada Alquran dan Hadis.
[16] Pernyataan Mulyadi di atas, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Oleaver Leaman bahwa konflik istilah antara filsafat dan agama tidak seharusnya menghilangkan kemungkinan adanya sebuah filsafat Islam. Seseorang dapat dikatakan sebagai seorang filosof bukan karena kekhawatiran mereka akan keberadaan keimanan terhadap agama tapi kemampuan memakai argumen-argumen rasional guna mempertahankan atau menyerang suatu pandangan (keagamaan)
[17] Menurut Mulyadi Kartanegara, ada 3 alasan: (1) Terjadinya Islamisasi Filsafat Yunani di dunia Islam, (2) Adanya transformasi radikal yang memberikan warna tersendiri bagi filsafat Islam yang disebabkan oleh daya kritis dan kritik yang dilontarkan oleh para filosof muslim, dan (3) Adanya perkembangan yang unik dalam filsafat Islam karena interaksinya dengan Islam sebagai sebuah agama. Pengembangan ini salah satunya melahirkan filsafat kenabian yang hampir sebagian besar filosof muslim mengupasnya
[18] Lebih jauh, menurut Musa, filsafat Islam dapatlah diartikan sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak Islami. Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi obyeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman.
[19] Dengan sifat dan coraknya yang demikian itu, filsafat Islam berbeda dengan filsafat Yunani atau filsafat Barat pada umumnya yang semata-mata mengandalkan akal pikiran (rasio).
[20] Hendi Suhendi, filsafat Umum, CV. Pustaka Setia: Bandung, 2008, hlm.435.
[21] http://mcdens13.wordpress.com/2010/05/28/filosof-filosof-islam
[22] Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
[23] Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan.
[24] Di dalam al-Qur`an disebutkan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda [āyāt] bagi kaum yang berakal; yaitu mereka yang ber-dzikir dalam keadaan berdiri dan duduk dan mereka yang ber-tafakkur dalam penciptaan langit dan bumi…” (Q.S. ).
[25] http://mentoringku.wordpress.com/2008/09/24/al-kindi-filosof-islam-pertama
[26] Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
[27] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi10nov2010
[28] Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik.
[29] Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik.
[30] Logika, Ilmu-ilmu Matematika, Ilmu Alam, Teologi, Ilmu Politik dan kenegaraan, Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).
[31] http://mcdens13.wordpress.com/2010/05/28/filosof-filosof-islam/10n0v2010
[32] Menurut Dr. Ibrahim Madkour, filsafat Al-Farabi adalah filsafat yang bercorak spiritual-idealis, sebab menurut Al-Farabi, dimana-mana ada roh. Tuhannya adalah Roh dari segala Roh. Akal yang dikonsepsikannya yaitu ‘Uqul Mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni, sedang kepala negeri- utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.
[33] http://mcdens13.wordpress.com/2010/05/28/filosof-filosof-islam/10n0v2010


[34] Jenis kedua ini mengacu kepada genus-genus benda terindra, termasuk benda langit.
[35] http://id.shvoong.com/humanities/1919708-al-farabi/10nov201
[36] Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
[37] http://mcdens13.wordpress.com/2010/05/28/filosof-filosof-islam/10n0v2010

[38] Ibnu Maskawaih memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq pada anak, yang menurutnya kejiwaan anak-anak merupakan mata rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal, namun jiwa anak-anak menghilangkan jiwa binatang tersebut dan memunculkan jiwa kemanusiaannnya. Jiwa manusia pada anak-anak mengalami proses perkembangan. Sementara itu syarat utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan syarat sosial. Sementara nilai-nilai keutamaan yang hyarus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmani dan ruhani. Dan beliau pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada sesamanya mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah, suka mengalah, mngutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormati kedua orang tua, dll.
[39] Ibnu Maskawaih membedakan antara kebajikan dengan perasaan beruntung, menurutnya kebajikan adalah yang dituju oleh seseorang dengan perasaan gembira. Kebajikan memiliki dasar yakni perasaan cinta yang harus dimiliki seseorang terhadap manusia seluruhnya. Manusia tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali dengan kebersamaan. Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa apabila agama dipelajari sungguh-sungguh maka sesungguhnya ia merupakan mazhab akhlaq yang berdasarkan cinta manusia dengan sesamanya, dan agama merupakan suatu latihan akhlaq jiwa manusia.
[40] http://mcdens13.wordpress.com/2010/05/28/filosof-filosof-islam/10n0v2010

[41] Diantara karangan-karangannya itu yang paling penting ialah risalah Tadbir al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang menjauhi segala macam keburukan masyarakat, yang disebutnya Mutawahhid, yang berarti “penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga memungkinkan kita dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut untuk dapat bertemu dengan akal-faal dan menjadi salah satu unsur pokok bagi negeri idam-idamannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemikiran Mistisisme Rabi'ah Al-adawiyah

@ kata2 cerdas

Perbincangan Qiyas dan Problematikanya