Pemikiran Mistisisme Rabi'ah Al-adawiyah

MAKALAH
PEMIKIRAN MISTISIME RABI’AH AL-ADAWIYAH
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam
    


Dosen
Prof. H. M. Imron Abdullah, M.Ag.
Dr. AR. Idham Kholid, M. Ag.


Oleh
Qurrotul Uyun
5051050007





PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2010
PEMIKIRAN MISTISME : RABI’AH AL-ADAWIYAH


Mistik adalah religi berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan yang meliputi semua maslah dalam alam, dan terdiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan. Mistik juga berarti pandangan-pandangan atau kecenderungan-kecenderungan dalam agama, yang mencita-citakan adanya komunikasi antara manusia dengan tuhannya dengan melalui pemahaman batin dari pikiran, lebih langsung dari apa yang diberikan oleh wahyu. [1]
Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld).
Menurut buku De Kleine W.P. Encylopaedie (1950, Mr. G.B.J. Hiltermann dan Prof.Dr.P. Van De Woestijne halaman 971 dibawah kata mystiek) kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis).
Beberapa Pendapat tentang paham misitk atau mistisisme :
1.      Kepercayaan tentang adanya kontak antara manusia bumi (aardse mens) dan tuhan (Dr. C.B. Van Haeringen, Nederlands Woordenboek, 1948).
2.      Kepercayaan kepada suatu kemungkinan terjadinya persatuan langsung (onmiddelijke vereneging) manusia dengan Dzat Ketuhanan (goddelijke wezen) dan perjuangan bergairah kepada persatuan itu (Algemeene Kunstwoordentolk, J. Kramers. Jz).
3.      Kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia (geheimnissen) dan hal-hal yang tersembunyi (verborgenheden). (J. Kramers. Jz).
Berdasarkan arti tersebut mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya.
Selain diperolehnya definisi, pendapat-pendapat tentang paham mistik diatas berdasarkan materi ajarannya juga memberikan adanya pemilahan antara paham mistik keagamaan (terkait dengan tuhan dan ketuhanan) dan paham mistik non-keagamaan (tidak terkait dengan tuhan ataupun ketuhaan).
Mistik dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu union mistic dan personal mistic. kecuali mistik itu dapat dibedakan pula berdasar atas benar tidaknya jika ditinjau secara syariat islam. Aliran mistik yang masih mengikuti ajaran syariat disebut nomistis, sedangkan yang sudah tidak memperdulikan lagi perihal syariat disebut anomistis.
Intisari mistisme adalah adanya kesadaran akan komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan tuhan, kesadaran berada di dekat tuhan dan kesadaran dapat bersatu dengan tuhan.
Mistisme islam atau sufisme adalah pendangan hidup yang berisikan unsur-unsur bukan hanya dari islam tetapi juga Kristen, neo-platonisme, dan sumber-sumber yahudi. Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Menurut pendapat Mir Valiuddin, guru besar Universitas Osmania India yang mengatakan, jika kata “sufisme” (tasawuf) berasal dari kata :
1.   Safa , maka bentuk kata yang tepat bukan sufi tetapi safawi,
2.   Saff (barisan), karena para sufi ini mmpunyai iman yang kuat, dan senantiasa memilih barisan (saff) terdepan dalam shalat berjamah,
3.   Saufanah, yakni sejenis buah-buahan kecik berbulu yang banyak tumbuh dipadang pasir jazirah Arabia. Nama itu diambil karena orang-orang sufi banyak memakai pakaian berbulu yang terbuat dari bulu domba kasar,
4.   Suffah (serambi tempat duduk), yaitu suffah masjid nabawi di madinah yang disediakan bagi para tunawisma dari kalangan muhajirin pada masa rasulullah saw,
5.   Safwah (yang terpilih atau terbaik). Sufi adalah orang terpilih di antara hamba allah swt arena ketulusan amal mereka kepadanya,
6.   Kata yunani, theosophy (theo, tuhan; shopos, hikmah), yang berarti hikmah ketuhanan,
7.   Shuf  (bulu domba), karena para sufi biasa memakai pakaian dari domba yang kasar sebagai lambang kerendahan hati.

Ibrahim Basyuni sarjana muslim berkebangsaan Mesir setelah mengemukakan 40 definisi tasawuf termasuk beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, mengategorikan pengertian tasawuf pada tiga hal:
-             Pertama, kategori al-hidayah, yaitu pengertian yang mencerminkan tasawuf pada tingkat permulaan.
-             Kedua, kategori al-mujahadah, yaitu pengertian yang membatasi tasawuf pada pengamalan yang didasarkan atas kesungguhan.
-             Ketiga, kategori al-mazaqat, yakni pengertian yang cenderung membatasi tasawuf pada pengalaman batin dan perasaan keberagaman, terutama dalam mendekati dzat yang  mutlak.
Berdasarkan ketiga pengertian umum tasawuf tersebut, basyuni menyimpulkan bahwa tasawuf adalah kesadaran murni yang mengarahkan secara benar kepada amal dan aktivitas yang sungguh-sungguh dan menjauhkan diri dari keduniaan dalam mendekatkan diri kepada allah swt untuk mendapatkan perasaan dalam berhubungan dengannya[2]
Timbulnya tasawuf dalam islam bersamaan dengan kelahiran agama islam sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi rasul. Tasawuf, semenjak cikal bakal keberadaannya pada masa rasulullah saw hingga saat ini telah melewati beberapa fase panjang yaitu :
1.      Masa pembentukan, yaitu abad I dan II hijriyah.
2.      Masa pengembangan, yaitu pada abad III dan IV hijriyah
3.      Masa konsolidasi, yaitu abad V hijriyah yang ditandai dengan kembalinya tasawuf pada dasar al-qur’an dan as-sunnah.
4.      Masa tasawuf falsafi, yaitu pada abad VI hijriyah yang ditandai dengan berkembangnya aliran tasawuf rasional (falsafi).
5.      Masa sosialisasi, yatu pada abad VI H[3].
Ajaran dan Sumbernya
1.         Subyektif
Selain serba mistis, ajarannya juga serba subyektif tidak obeyktif. Tidak ada pedoman dasar yang universal dan yang otentik. Bersumber dari pribadi tokoh utamanya sehigga paham mistik itu tidak sama satu sama lain meski tentang hal yang sama. Sehingga pembahasan dan pengalaman ajarannya tidak mungkin dikendalikan atau dikontrol dalam arti yang semestinya.
2.      Abstrak dan Spekulatif
Materinya serba abstrak artinya tidak konkrit, misal tentang tuhan (paham mistik ketuhanan), tentang keruhanian atau kejiwaan, alam di balik alam dunia dll (paham mistik non-keagamaan). Dengan demikian pembicaraannya serba spekulatif, yaitu serba menduga-duga, mencari-cari, memungkin-mungkinkan dll (tidak komputatif).
Sebab orang menganut paham mistik
1.      Kurang puas yang berlebihan, bagi orang-orang yang hidup beragama secara bersungguh-sungguh merasa kurang puas dengan hidup menghamba kepada tuhan menurut ajaran agamanya yang ada saja.
2.      Rasa kecewa yang berlebihan, Orang yang hidupnya kurang bersungguh-sungguh dalam beragama atau orang yang tidak beragama merasa kecewa sekali melihat hasil usaha umat manusia di bidang science dan teknologi yang semula diandalkan dan diagungkan ternyata tidak dapat mendatangkan ketertiban, ketentraman dan kebahagiaan hidup. Malah mendatangkan hal-hal yang sebaliknya. Mereka 'lari' dari kehidupan modern menuju ke kehidupan yang serba subyektif, abstrak dan spekulatif sesuai dengan kedudukan sosialnya.[4]

BIOGRAFI RABI’AH AL-ADAWIYAH
Rabiah binti Ismail al-Adawiyah adalah wanita sufi ternama dalam sejarah Islam. Ia dikenal sebagai pengagum cinta (mahabbatullah) dan dikenang sebagai ibu para sufi besar (the mother of the grand master). Lahir sekitar tahun 713 Masehi-masa awal kurun kedua tahun Hijriah-di Kota Basrah. Irak.[5]
Rabi'ah Al-Adawiyah merupakan tokoh sufi yang dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin, mulai pada saat dia dilahirkan hingga ia tumbuh dewasa. Bapaknya hanyalah seorang pengangguran dan memang memiliki pendirian yang sangat teguh dengan agamanya hingga ketika pada saat detik-detik akhir akan terlahirnya seorang rabi'ah Al-Adawiyah dia telah berjanji tidak akan meminta-minta/memohon kepada orang lain/ciptaan Allah karena dia memiliki pendirian yang teguh bahwasannya hanya Allahlah tempat kita meminta dan memohon[6]
Dengan bujukan istrinya untuk meminta secarik kain untuk selimut untuk menyelimuti sang jabang bayi dan sedikit minyak untuk menerangi ruhamnya yang gelap gulita akhirnya bapak rabi'ah mendatangi rumah tetangganya dan mengetuk pintu untuk mendapatkan barang tersebut. Setelah beberapa kali mengetok daun pintu rumah tetangganya hingga untuk ketiga kalinya dan tidak ada seorangpun yang membuka pintunya dan akhirnya dia pulang dengan tangan hampa akan tetapi dia juga bersyukur karena dia tidak mengingkari apa yang telah dijanjikan kepada Allah bahwa dia tidak akan meminta-minta kepada seseorang kecuali Allah.
Dengan rasa sedih karena putri keempatnya akan terlahir tanpa sehelai kainpun untuk selimut dan penerangan akan tetapi semuanya tetap disyukuri oleh keluarga miskin Rabi'ah Al-Adawiyah.
Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.
Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.
Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan
Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.
Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.[7]
Rabiah kehilangan kedua orang tuanya waktu ia masih kecil. Ketiga kakak perempuannya juga mati ketika wabah kelaparan melanda Basrah. Ia sendiri jatuh ke tangan orang yang kejam, yang menjualnya sebagai budak belian dengan harga yang tidak seberapa. Majikannya yang baru juga tidak kurang bengisnya. Si kecil rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan segala perintah majikannya. Malam hari dilaluinya dengan berdo’a
Pada suatu  malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah, ketika Rabiah berdo’a kepada Allah: “Ya Robbi, Engkau telah membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi kepadanya. Seandainya aku bebas, pasti aku persembahkan seluruh waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepada Mu”. Tiba-tiba tampak cahaya di dekat kepalanya dan melihat itu majikannya sangat ketakutan. Esok harinya Tabiah dibebaskan.
Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat-tempat yang sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia ke sebuah gunung dekat Basrah. Di sini ia hidup seperti pertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, sebuah batu bata, semua itulah harta yang ia punyai. Ia sepenuhnya mengabdikan diri untuk berdo’a, dan tidur sekejap saja sebelum dinihari meskipun hal ini sangat ia sayangkan.
Rabiah Al Adawiyah adalah seorang mistisi yang sangat tinggi derajatnya dan tergolong kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.[8]
Tiap malam  ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Di langit bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu ger- bang istananya. Begitu pula para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapl, aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk menekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.
Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isa, ia terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan, “Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”
Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”
Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu. [9]
Rabiah meninggal dunia di Basrah tahon 801 Masehi, dimakamkan di rumah dimana ia tinggal. Ketika jenazahnya diusung ke pekuburan, orang-orang suci, para sufi, dan orang Islam yang saleh dalam jumlah yang luar biasa banyaknya itu datang mengiringinya. Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup.

PEMIKIRAN RABIAH AL-ADAWIYAH
Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.
Ra'biah al adawiyah adalah seorang wanita filosof (Sufi). Sebagian sufi menjadikan cinta sebagai ajaran pokok dalam tasawuf. Khususnya ajaran Ra'biah adalah tentang Cinta Ilahi. Sejak dia memperkenalkan ajaran ini, cinta Allah menjadi perbincangan kaum sufi . Sebelumnya yang menjadi perbincangan utama adalah khauf ( rasa takut ) dan raja' ( pengharapan ). Ra'biah juga disebut sebagai orang pertama yang menjadikan Cinta Ilahi sebagai obyek utama puisi. [10]
Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka...
bukan pula karena mengharap masuk surga ...
Tetapi aku mengabdi, karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
kaena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu,
demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan
memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
Alangklah buruknya,
orang yang menyembah Allah
karena mengharap surga
dan ingin diselamatkan dari api neraka
Seandainya surga dan neraka tak ada
Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya?
aku menyembah Allah
karena mengharap ridha-Nya
nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya
sudah cukup menggerakkan hatiku
untk menyembah-MU
Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen.
Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa.
Apa yang dilakukan Rabiah dalam  hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.
Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.
Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada menjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalam cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.
Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah  mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”[11]
Keprihatinan yang menimpa rabi'ah kecil telah menempanya menjadi seorang sufi yang rendah hati. Kesederhanaan dan keteguhan hatinyanya dalam memegang keyakinan beragamannya telah mengantarkan dia kepada CINTA ILAHIYAH diatas segalanya, tiada seorangpun yang dicintainya kecuali Allah. Hingga ada beberapa ulama besar yang datang kepada rabi'ah dan ingin meminangnya, diantaranya adalah Hasan Bashri, Malik bin Dinar dan Tsabit al-Banani.[12]
Dalam kisahnya Hasan memulai pembicaraan dan berkata "wahai rabi'ah, nikah itu merupakan sunnah Rasulullah SAW, untuk itu silahkan engkau memilik salah seorang diantara kami sebagai calon suamimu." Rabi'ah berkata "baiklah tuan-tuan yang terhormat namun aku berhak mengajukan syarat. Selama ini aku mempunya beberapa permasalahan, barangsiapa diantara kalian yang mampu memecahkan permasalahan itu, dialah yang berhak menikahi diriku, ". Rabi'ah kemudian melontarkan masalahnya yang pertama kepada Hasan Al-Bashri untuk memecahkannya.
"Menurut tuan, kelak di hari kiamat aku termasuk golongan mana? apakah aku termasuk golongan yang akan masuk neraka atau yang akan masuk surga?", Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Lalu Rabi'ah berkata lagi, "Menurut tuan, aku ini termasuk manusia yang celaka atau manusia yang bahagia, ketika Allah SWT menciptakan diriku dalam kandungan ibuku?", Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Pertanyaan berikutnya, "Menurut tuan, aku termasuk golongan yang mana ketika seseorang diseru nanti, apakah golongan yang diseru "janganlah kamu gentar atau bersedih", ataukah golongan yang akan diseru, "Tidak akan ada rasa gembira bagimu"? Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Selanjutnya, "Menurut tuan, kuburanku nanti termasuk taman surga atau galian neraka?" Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Kemudian "Menurut tuan, wajahku kelak dihari kiamat termasuk wajah yang putih berseri ataukan wajah yang hitam kelam dan bermuram durja?" Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti". Lalu Rabi'ah menyampaikan pertanyaan yang terakhir "Menurut tuan, aku termasuk golongan yang mana kelak dihari kiamat, ketika masing-masing manusia dipanggil, 'Fulan bin fulan bahagia, ataukah dipanggil 'Fulan bin fulan celaka'?" Hasan menjawab "maaf, mengenai masalah itu aku tidak tahu pasti" sambil menahan malu.
Akhirnya ulama'-ulama' tersebut pulang dari rumah Rabi'ah dengan tangan hampa dan penuh penyesalan, tidak ada satu orangpun yang mendapatkan hati Rabi'ah sang Sufi agung dengan CINTA ILAHIYAH-nya. Kecintaan Rabi'ah terhadap Allah mengalahkan segalanya yang ada didunia. Dari sekian banyak tokoh sufi yang ada hanya Rabi'ah Al-Adawiyahlah yang hingga saat ini tidak ditemukan karyanya tentang konsep Mahabbah sufi yang dianutnya padahal banyak sekali karya-karya setelah dia yang menulis konsep pemikiran Mahabbah Rabi'ah Al-Adawiyah.
Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun meleblhl gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya.
Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. T etapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tldak berkenan menerlma tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti darl dosa, jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?” [13]
Rabiah punya banyak murid yang keras, termasuk Malik bin Dinar, Raba al-Rais, Sheikh al Balkhi, dan Hasan Basrah. Mereka sering mengunjungi Rabiah untuk mendapatkan nasihat, doa, atau untuk mendengarkan ajarannya. Pada suatu hari, Sufyan Suri, seorang yang saleh dan dihormati datang pada Rabiah, mengangkat kedua belah tangannya dan berdo’a: “Tuhan Yang Maha Kuasa, saya memohon harta duniawi dari Mu”.
Mendengar isi do’a itu Rabiah pun menangis. Ketika ditanya kenapa menangis, ia menjawab: “Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat anda hanya mencarinya di dunia saja”. Terbetik berita, ada orang yang mengirim uang 40 dinar kepada Rabiah. Ia menangis dan mengangkat tangannya ke atas, “Engkau tahu Ya Allah, aku tak pernah meminta harta dunia dari Mu, meskipun Kau lah Pencipta dunia ini.
Lantas, bagaimana aku dapat menerima uang dari seseorang, sedangkan uang itu sesungguhnya bukan kepunyaannya?”. Ia melarang murid-muridnya untuk menunjukan perbuatan baik mereka pada siapapun. Mereka malahan diharuskan menutupi perbuatan baik itu seperti menutup-nutupi perbuatan jahat mereka.
Segala penyakit datangnya atas kehendak Tuhan, karena itu Rabiah selalu memikulnya dengan ketabahan hati dan keberanian. Rasa sakit yang bagaimanapun tidak pernah mengganggunya, tidak pernah menarik perhatiannyadari pengabdiannya pada Tuhan. Sering ia tidak menyadari ada bagian tubuhnya yang terluka sampai ia diberitahu oleh orang lain. Suatu hari, kepalanya terbentur pada sebatang pohon sehingga berdarah. Seorang yang melihat darah bercucuran itu dengan hati-hati bertanya:”Apakah anda tidak sakit?”, “Aku dengan seluruh jiwa ragaku mengabdi kepada Allah Swt. Aku berhubungan erat dengan Nya, aku disibukan-Nya dengan hal-hal lain daripada yang pada umumnya kalian rasakan”, jawabnya dengan tenang.
Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
Rabiah ialah seorang mistik yang paling terkemuka yang mengajarkan kasih sayang kepada Tuhan tanpa pamrih. Konsepnya yang kemudian meluas: “Aku mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala apapun. Jangan takut pada neraka, jangan mendambakan surga, aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi, aku berkewaijban mengabdi-Nya hanya untuk kasih sayang-Nya saja”. Pada suatu ketika ada orang yang bertanya apakah ia membenci setan? Jawabannya: “Tidak! Kasih sayang Tuhan tidak mengenal kebencian terhadap setan”.
Banyak ungkapan yang ia ciptakan. Waktu ia ditanya: “Sebab apa ia tidak mau minta bantuan sahabat-sahabatnya? “, Ia menjawab: “Saya akan malu meminta materi dunia ini daripada-Nya,padahal materi itu kepunyaan-Nya. Jadi, mengapa saya harus minta sesuatu dari orang yang tidak memilikinya?”. “Apakah Allah akan melupakan yang melarat karena kemelaratannya atau akan mengingat yang kaya karena kekayaannya? Karena Dia mengetahui keadaanku, maka sama sekali tidak ada gunanya menarik perhatian-Nya kepada saya. Apa yang dikehendaki-Nya, itulah yang menjadi kehendak kita!”.
Banyak keajaiban dihubungkan dengan Rabiah, keajaiban milik orang suci. Rabiah mendapatkan makanan dari tamu-tamunya melalui jalan yang aneh-aneh. Dikatakan bahwa waktu Rabiah menghadapi maut, ia minta teman-temannya meninggalkannya, dan ia menyilakan para utusan Tuhan lewat. Waktu teman-teman itu berjalan keluar, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadah, dan ada suara yang menjawab: “Sukma, tenanglah, kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada Nya, ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya”.
Di antara doa-doa yang tercatat berasal dari Rabiah, ada doa yang dipanjatkannya pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengan pasangannya, dan disinilah aku sendirian bersama Engkau”.
do’a lainnya: “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut ‘kan neraka, bakarlah diriku di dalamnya. Bila aku menyembah-Mu karena harap ‘kan surga, jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau, maka janganlah Kau tutup keindahan Abadi-Mu”. [14]






DAFTAR PUSTAKA



Ahmad , KH. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus: Jakarta.
http//a.admaxserver.com/servlet/ajrotator/432330/0/cc
http//www.oaseqalbu.net/modules/
http//www.jumhurul-umami.blogspot.com/2007
http//a.admaxserver.com/servlet/ajrotator/432330/0/cc
http//www.syaheera.multiply.com/reviews/item/16
http//jumhurul-umami.blogspot.com/
Jaiz ,MH Amien, Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan, 1980, PT Alma'arif, Bandung
Roy,Muhammad,.Tasawuf MazhabCinta,2009, Penerbit Lingkaran:Yogyakarta
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.








[1] Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

[2] mazhab cinta menuju Allah, Muhammad roy,29
[3] Roy Muhammad, dalam buku tasawuf mazhab cinta::(2009:22-35)
[4] MH Amien Jaiz, Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan (PT Alma'arif, Bandung, Cetakan 1980)

[5]www.bataviase.co.id/node/192467
[6] http//jumhurul-umami.blogspot.com/

[7] www.forumbebas.com/tread-31309.html

[8] http//www.syaheera.multiply.com/reviews/item/16
[9] http//a.admaxserver.com/servlet/ajrotator/432330/0/cc
[10] www.goodreads.com/book/show/1480761


[11]http//www.oaseqalbu.net/modules/
[12] http//www.jumhurul-umami.blogspot.com/2007
[13] http//a.admaxserver.com/servlet/ajrotator/432330/0/cc

[14] dikutip dari buku Seratus Muslim Terkemuka karya Kh. Jamil Ahmad Penerbit Pustaka Firdaus Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

@ kata2 cerdas

Perbincangan Qiyas dan Problematikanya